There is a first time for everything you do, but there is not a first time for everything. ―Anonymous

flowers-shawl-1

I had one, two, three, four shots of happiness.
I have run away from the one thing that I ever made.
Now I only wish that I could show you – wish I could show a little soul.
I look like a big man, but I’ve only got a little soul.
I only got a little soul.

When we woke up that morning, we had no way of knowing.
That in a matter of hours, we’d change the way we were going.
Where would I be now if we’d never met.
Would I be singing this song to someone else instead I dunno.
But like you said, something changed.

 

—Pulp

Akhirnya setelah setahun, aku memberanikan diri kembali untuk menulis.

Sekaligus mengakhiri jurnal personal ini.

Adalah bulan-bulan yang sesak dengan peristiwa yang membuat aku selalu mengurungkan niat untuk sekedar menggoreskan sesuatu di laman yang tepat Desember besok satu tahun lamanya tak pernah tersentuh. Desember 2012 adalah kali terakhir aku mengisi laman jurnal ini, tentang omong kosong alienasi, jatuh cinta, memaknai mimpi, depresi, dan ketakutan tak beralasan akan sesuatu yang segera tiba, entah berwujud apa. Dan benar adanya, seperti yang telah diprediksi, ia akhirnya datang memporak-porandakan sesuatu yang selama ini aku susun rapih, meluluh lantakkan apapun yang tersisa. Dan seperti yang sudah-sudah, aku tidak pernah siap.

Adalah Leonard Cohen, Jason Pierce, Souvlaki hingga rilisan awal This Will Destroy You yang membantu hasrat ini kembali untuk menutup sampah tahunan – karena ia sudah jauh dari definisi berkala – yang aku pikir sudah sama sekali tidak relevan dan basi. Catatan personal yang seringkali membuat missing link hubungan dan percakapanku dengan seorang Suzein Aufa.

Tentunya.

Lagi pula, apa guna laman-laman ini jika hanya menjadi sasaran untuk kepuasan prejudis belaka, diusik hanya karena ia berbicara jujur dan menuliskan hasrat yang ada? Apa guna sebuah laman yang sangat personal hadir untuk dikutuk dan menyebabkan banjir sumpah serapah hanya karena menuliskan sebuah mimpi tadi malam yang tak bersalah, dan ia terjadi tanpa dihendaki? Apa guna sebuah laman diisi untuk kemudian dihapus kembali hanya karena  ia menyebabkan adu argumen yang masif? Apa guna sebuah tulisan dihadirkan untuk dijadikan alasan  untuk menghakimi?

Saatnya sudah tepat untuk membuang semua kumpulan aksara yang ada dalam semua laman ini. Mengutip pena Jeff Buckley, bahwa kala cinta dan hasrat berubah menjadi sangat dingin, tak bergelora, dan tak bergeming ditengah riuh rendahnya hidup, maka selayaknya ia layak dienyahkan, dibenamkan, atau hilang menjadi asap tanpa perlu berjejak. Membiarkannya menjadi kenangan hanyalah kebodohan yang diperbuas, karena memang ia sudah layak untuk ditutup.

Jika mungkin memang benar apa adanya, gelap selalu saja menjadi teman setia dari waktu-waktu yang hilang.

Senja yang selama ini menjadi media penghantar nuansa hening telah kehilangan kehangatannya, walau hanya untuk sekedar membasuh lelah. Waktu demi waktu ia hanya bertransformasi menjadi sumbangan untuk kegelisahan dan keraguan yang terasa telak. Hingga kini dalam satu titik terendahnya, ia tetap tidak berkembang, tumbuh, dan sudah enggan bercerita. Ia sudah tidak sehangat gemericik air pantai di pagi hari. Ia sudah seperti mawar di awal musim dingin. Ia malah menimbulkan prasangka yang pelik, alih-alih sebuah hasrat dan hanya berakhir pada muara yang sama: memenuhi kebutuhan untuk menjustifikasi prekonsepsi-mu. Bukan untuk menghidupi cinta itu sendiri.

Ah, lagipula, sejak kapan penyerahan diri total adalah sebuah tujuan akhir. Pemenuhan hasrat adalah yang terjadi semenjak engkau lebih mencari cinta untuk memenuhi kebutuhanmu ketimbang menghidupinya musim demi musim.

Cukup adalah cukup. Waktuku telah habis. Perjalanan di atas jalanan sepi tak berujung kala senja ini pun menemui titik akhir, untuk menemui lagi satu titik nadi lingkaran yang sama yang seakan tak pernah putus untuk puluhan tahun lamanya.

Aku tak pernah berharap semuanya akan tetap sama, walau kita sama tahu, selalu ada satu masa di mana semua akan meredup. Entah untuk berapa lama. Entah hingga kapan. Entah untuk selamanya. Walau tentu, sebelum saatnya tiba, semuanya tetap memiliki waktu dan ruang untuk membara hingga terbakar habis.  Dan aku sama sekali tidak mengharapkan waktu yang panjang maupun singkat untuk semua itu.

Saatnya sudah tiba. Aku hanya berharap bahwa tidak akan ada lagi kata sesal terlintas kelak. Untuk apapun yang telah tergores di sini dan yang akan tertorehkan kelak. Untuk apapun yang telah dijalani dan diingat. Jikalau memang masa itu akan hadir, mungkin akan ada lagi laman-laman baru yang siap tergores, untuk sesuatu yang baru, itu pun jika ‘sesuatu’ itu memang ada.

Sebentar lagi bulan Desember. Kali ini, aku membiarkan jalan yang berbeda menuntunku kemanapun ia berkehendak. Dan aku tidak pernah berharap, bahwa akan ada satu masa di mana aku, engkau, mereka, kembali dipertemukan di persimpangan jalan, maupun jalan yang berbeda.

Ada cuaca mendung yang biasa diasosiasikan dengan perasaan duka, pula. Desember memang anjing.

Leave a comment